Laki-laki Tidak Bercerita
Sedari kecil, laki-laki hidup di lingkungan patriarki. Di mana, laki-laki diberi asupan pemahaman bahwa laki-laki tidak diperkenankan menangis, ia mesti kuat, dan tidak mudah menyerah.
Seluruh hal tersebut, laki-laki telan hingga usia belasan, bahkan dua puluhan. Beberapa laki-laki tendensi kesulitan mencerna kesedihannya sendiri. Ia rasa, memendam emosi adalah hal yang lumrah dan semestinya direalisasikan sebagai lelaki.
Saya rasa, trend ini dapat melahirkan implikasi tidak sehat. Salah satu implikasi seriusnya adalah bunuh diri.
Ketidaksehatan itu berasal dari laki-laki yang menormalisasikan sikap menutup diri terhadap problematika yang tengah ia alami. Kita tahu bahwa tagar #lakilakitidakbercerita itu keren. Sebab, mempertontonkan power dan kemandirian laki-laki. Akan tetapi, dibalik tagar keren tersebut, ada bahaya besar yang membersamainya, yakni laki-laki kian enggan mencari pertolongan ketika diterpa kesulitan, terutama perihal kesehatan mentalnya.
Beberapa laki-laki dewasa ini, lebih memposisikan harga diri di atas segalanya. Ia tidak dikenalkan dengan beranekamacam jenis emosi. Anehnya, anak laki-laki yang mengugurkan air mata justru dimarahi dan dicap cengeng.
Dilansir dari referensi yang saya dapat, laki-laki sebagaimana di atas adalah laki-laki yang memegang value maskulinitas tradisional. Di mana, laki-laki yang memegang value tersebut, rentan mengalami gangguan mental. Fenomena tersebut juga dikenal dengan maskulinitas hegemonik. Situasi dikala citra ideal laki-laki yang dikonfigurasi masyarakat, mengharuskan laki-laki senantiasa tampil kuat dan gagah.
Dari beberapa hasil riset orang lain yang saya lihat, laki-laki Indonesia umumnya terstigma maskulinitas tradisional. Artinya, ini menginternalisasikan norma laki-laki mesti tegar dan tidak mempertontonkan kelemahan, seperti menangis. Pada akhirnya, stigma ini menjadi dinding penghalang bagi laki-laki guna menggali informasi kesehatan mental ataupun bantuan sosok profesional.
Padahal, tidak mengapa laki-laki juga perlu bercerita sebagaimana mestinya. Tidak menjadi suatu hal buruk bila laki-laki bercerita dan meminta pertolongan oleh sosok profesional. Kita pun tahu, bahwa bercerita dengan sahabat-sahabat terdekat adalah solusi sederhana guna melahirkan rasa lega dan sikap menerima.
Support dari orang-orang sekitar merupakan saran yang acap kali digarisbawahi guna mendobrak kesehatan mental laki-laki. Sebab, mentransformasi stigma tersebut, diperlukan pendekatan kolektif nan edukatif yang berkesinambungan. Transformasi mindset juga mesti direalisasikan mulai dari keluarga, lingkungan kerja, dan media sosial.
Merakit maskulinitas positif merupakan langkah yang relatif krusial. Maskulinitas tidak melulu berbicara ihwal hegemoni dan ketegaran, melainkan pula keberanian mempertontonkan perasaan, solidaritas sesama, dan keterbukaan menerpa problematika.
Oleh sebab itu, perlu kiranya bagi masyarakat dewasa ini guna meredefinisikan perihal maskulinitas. Sehingga, laki-laki yang masih terpenjara maskulinitas toxic, dapat merdeka ke maskulinitas positif.
Dapat digeneralisasikan bahwa menjadi laki-laki, bukan berarti mesti senantiasa kuat sendirian. Akan tetapi, mentolerir emosi, berbicara perihal kesedihan, dan mencari pertolongan, bukan berarti mengindikasikan kelemahan, melainkan sebuah keberanian. Sebab, laki-laki mesti tahu, bahwa mereka tidaklah sendirian. Jadi, bercerita merupakan langkah pertama menuju pemulihan.
Komentar
Posting Komentar