Meluruskan Dengan Sikap Diam
“Mengapa demikian?”, sahutku dengan penuh tanya. Kemudian ia dengan santai menjawab, “Karena, percuma saja memaparkan dirimu yang sebetulnya seperti apa kepada orang-orang yang sudah tidak menyukai dirimu.” Sontak, akupun terdiam kala itu, sembari meresapi maksud jawaban singkat itu.
Setelah beberapa hari berusaha mencerna itu, akupun memperoleh jalan atas kebingungan kala itu.
Ada salah satu problematika dalam kehidupan, yakni kita menjadi perbincangan dengan subtansi pembicaraan yang tidak-tidak, segala sikap kita disalahartikan oleh orang lain hingga kita dikatakan jahat, padahal secara realita, kita sama sekali tidak berlaku jahat dengan orang tersebut.
Kondisi demikian, kiranya membuat kita gatal-gatal. Gatal-gatal untuk memaparkan sembari membela diri bahwa kita tidak sekeliru itu. Akan tetapi, apabila kita pikirkan lagi, ketika kita memaparkan sembari membela diri, apakah dapat merampungkan problematika itu? Atau justru memperkeruh keadaan?
Ditambah lagi, apabila posisi kita sama-sama emosi dan sama-sama nada tinggi. Apabila hal tersebut direalisasi, justru melahirkan prasangka dan asumsi lainnya yang berkesinambungan lagi.
Jadi, ketika kita dihadapkan dalam posisi yang mana kita dituduh yang tidak selaras dengan fakta dan dilebih-lebihkan, maka salah satu jalan terbaik adalah dengan bersikap diam.
Biarkan. Sebab, dengan sikap diam itu, artinya mempertontonkan sikap kedewasaan kita dan kita mampu mampu mengontrol diri.
Dengan sikap diam ini, kira-kira si penuduh bakal berpikir dua kali. Tanpa kita mesti memaksakan pembuktian diri melalui kata-kata dan aksi.
Komentar
Posting Komentar