Si Paling Bad Mood


Dalam tulisan kali ini, penulis mengajak pembaca guna bersama-sama membenahi diri supaya lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat diilhami secara dingin, tanpa membanding-bandingkan.


Maaf, terus terang saja, penulis tidak habis pikir dengan manusia yang bersembunyi di balik tembok (alasan) mood. Sebentar-sebentar, tidak mood (bad mood). Ketika kehendaknya terpenuhi, baru tercipta good mood.


Memangnya kenapa, ya? Apakah setiap manusia di bumi ini mesti bisa mengerti mood mu? Mesti bisa menjaga perasaan mu? Atau Apakah aturan main dunia ini mesti bekerja selaras dengan kehendak mu?


Penulis sepenuhnya sadar, bahwa penulis bukan menyatakan atau menganggap mood sebagai sesuatu yang tidak ada atau tidak berlaku. Penulis tidak mengabaikan atau menolak eksistensi mood, entah itu yang bersifat positif maupun negatif. Sebab, keduanya merupakan bagian dari empiris emosional yang lumrah, dan krusial guna diakui.


Penulis sendiri, juga pernah merasakan tidak mood (bad mood), dan good mood. Akan tetapi, tidak serta-merta mood tersebut dijadikan alasan untuk pasrah berdiam diri tidak merealisasikan apapun ketika mengalami itu. Sebab, ketika mood, khususnya bad mood yang dibiarkan atau didiamkan, maka lama-kelamaan bakal berevolusi menjadi sebuah kebiasaan.


Hal yang paling parahnya dalam hal ini, ketika sudah berurusan dengan khalayak. Dengan (kebiasaan buruk) tersebut, seseorang bakal cenderung untuk terus ingin dimengerti. Padahal esensinya, urusan mood merupakan tanggungjawab diri sendiri.


Kita semua sudah mengetahui, bahwa pada dasarnya, manusia merupakan makhluk yang serupa seperti hewan. Akan tetapi, yang membedakannya adalah manusia diberi akal. Sebagai manusia, tentunya kita ingin memperoleh imbalan (feedback), dan berusaha menghindari ancaman.


Hal pembeda di atas, merupakan hal fundamental. Oleh sebab itu, ketika manusia tiba-tiba bad mood, dan ia berdiam diri tidak melakukan apapun, lantas untuk apa ia diberi akal? Apa bedanya dengan hewan?


Jadi, bagaimana ketika manusia di hadapkan dengan manusia lainnya yang tengah bad mood (gampang tidak mood)? Biarkan saja orang tersebut (bodo amat).


Mengapa demikian? Sebab, ia tidak jelas. 


Mood berbeda dengan emosi. Dalam hal ini, kita hanya berfokus pada mood. Mood sendiri durasinya dapat berhari-hari, dan kelahiran mood tersebut dapat berasal dari imajinasi diri sendiri. Oleh karena itu, bakal sangat-sangat melelahkan, apabila direspon.


Manusia yang kerapkali bad mood merupakan manusia yang ingin senantiasa memperoleh imbalan (feedback), dan ingin segalanya diiyakan supaya tidak melahirkan keresahan. Apatis terhadap lingkungan, apakah memungkinkan ataupun tidak, ia tetap merealisasikan hal-hal tersebut.


Hal demikian, berbeda dengan seseorang yang memang sudah didiagnosa mengalami mood disorder, ya. Itu memang mesti ditangani. Akan tetapi, apabila seseorang yang gampang bad mood (tidak mood), maka gim (selesai), bodo amat saja.


Dengan demikian, untuk manusia-manusia yang kerap beralasan bad mood (tidak mood), mari berhitung. Seberapa banyak tindakan dan keputusan konyol yang telah diambil selama ini? Di mana, pada akhirnya, bukan hanya merugikan diri sendiri. Namun, turut mengganggu khalayak di sekitarmu. 


Apakah kehendak yang tidak direalisasi, berujung bad mood? Apakah ketika seseorang mengajak kawannya ingin nongki, tapi kawannya belum bisa, berujung bad mood? Apakah hal-hal yang tidak selaras dengan ekspektasi, berujung bad mood?


Perlu di garis bawahi, apabila kita belum dapat bertanggungjawab atas mood diri sendiri, jangan dengan seenaknya kamu merusak suasana hati khalayak.


Bagaimana jika belum bisa? Belajar.


Tidak perlu bermimpi A hingga Z, jika dengan mood sendiri saja tidak berkutik. 


“Jangan pernah lelah untuk selalu berbenah.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Sempro

Seminar Proposal Skripsi Ku

Selamat Ulang Tahun Sayang