Jarang Di Dengar
Pernahkah Anda berpikir mengapa seseorang sering belibet dan kurang sat-set dalam memaparkan sesuatu?
Dulu, penulis merasa sangat sulit sekali untuk memaparkan apa yang telah dipikirkan dan apa yang ingin dikeluarkan dari mulut. Sebegitu banyaknya hal yang penulis pikirkan, sampai-sampai penulis menggebu-gebu hendak melontarkan hal tersebut. Namun, dipatahkan oleh kebelibetan dalam berbicara.
Setelah penulis renungi, ada satu hal penyebab kebelibetan dan sulitnya mengolah diksi saat melontarkan sesuatu dari mulut, yakni penulis pernah jarang didengar.
Dulu, penulis sebegitu ceplas-ceplosnya dalam berbicara, alhasil lama-kelamaan penulis mulai merasa tak ada yang merespons dan mendengarkan apa yang telah penulis ceplas-ceploskan tersebut.
Semua itupun mulai tertanam saat penulis mulai memendam seluruh hal yang hendak dilontarkan. Sebab, dulu penulis tak pernah didengarkan, dan penulis tak tau bagaimana sih rasanya didengarkan. Padahal, begitu banyak hal-hal yang ingin penulis lontarkan.
Penulis hanya perlu pendengar yang baik dan exaited dengan apa yang penulis lontarkan. Namun, komunikan yang penulis hadapi, justru melakukan tindakan yang kurang etis dan seolah-olah tak mengapresiasi penulis dalam berbicara, umpamanya mendengarkan, tapi sambil bermain gawai.
Jika dipikirkan secara komprehensif, apakah ada SDM Indonesia yang bisa menyepadankan baik dalam mendengarkan-merespons, walaupun sambil bermain gawai? Tentunya ada, tapi hanya beberapa.
Mungkin, mengapa komunikan bermain gawai saat kita berbicara, terjadi karena dua hal. Pertama, karena ada hal yang harus disegerakan. Kedua, karena tak tertarik untuk mendengarkan dan merespons.
Penulispun sadar, ternyata tak ada yang tertarik mendengarkan untaian kata penuh makna yang penulis sampaikan. Alhasil, penulis memendam dan mengonsumsinya dengan kiat berbicara sendiri maupun mengungkapkannya dalam bentuk tulisan.
Itulah hasil dari renungan penulis beberapa tahun lalu, dan baru ini tersampaikan sekaligus tertuang dalam tulisan pada blog ini ihwal salah satu penyebab mengapa berbicara kerap belibet dan kurang sat-set.
Setelah direnungkan kembali, dulu dan mungkin sampai sekarang, penulis belum tau rasanya didengarkan, dan terlalu disibukkan dengan mendengarkan.
Ada salah satu pikiran absurd untuk mematahkan mulut untuk berbicara, yakni "Untuk apa menyampaikannya? Khalayak atau orang lain juga tak akan mendengarkan dan menoticenya juga."
Pikiran tersebut jangan sampai berakar dalam rasio kita. Sebab, hal tersebut dapat mendungukan retorika Anda. Semakin jarang Anda berbicara, maka implikasinya adalah retorika Anda akan belibet dan kurang sat-set. Karena, tak terbiasa berbicara, hal-hal yang telah tersistematisasi dalam rasiopun, rancu ketika disampaikan.
Oleh karena itu, "Mari berbicara."
Apakah hal ini relate dengan penyebab kebelibetan Anda?
bujur bnarr ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusrilðŸ˜
BalasHapus