Antara Keingintahuan dan Validasi


Proses lahirnya ilmu itu diawali dengan bertanya. Seseorang yang bertanya adalah orang yang sadar bahwa dirinya tidak tau, dan inilah yang menjadi awal mula dari lahirnya sebuah ilmu. Namun, pertanyaan-pertanyaan modern dewasa ini kerapkali terinternalisasi pada ajang validasi atau caperisasi. Kontekstualisasinya adalah ketika seseorang bertanya kepada komunikan (lawan bicara) atau seorang presentator diperkuliahan atau dimanapun, pertanyaan tersebut terkadang pertanyaan yang kompleks dan perlu pemahaman secara komprehensif untuk menjawabnya. Ironisnya, pertanyaan yang dilontarkannya, sudah ia ketahui jawabannya. Sehingga, hal demikian dapat diklasifikasikan dalam pertanyaan caperisasi atau validasi belaka.


Fenomena tersebut kerap penulis temui dari beberapa momen. Sungguh ironis, ketika bertanya tidaklah murni untuk mencari ilmu, namun dimuarakan sebagai instrumen guna mencari validasi pada seseorang. Hal demikian perlu dikritisi, sebab antitesis dengan muara utama dari pembelajaran dan dapat menghambat prosesi belajar mengajar.


Kritik yang sapat dipropagandakan, yaitu:


1. Motivasi yang keliru.

Bertanya dengan dalih validasi belaka menunjukkan terjadi motivasi yang salah dalam belajar. Pertanyaan seharusnya disokong oleh rasa keingintahuan dan keinginan untuk memahami materi 100 persen, bukan justru memperoleh validasi oleh seseorang. 


2. Merepotkan Si penjawab.

Pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya oleh Si penanya justru dapat merepotkan dan terkesan tidak mengapresiasi Si penjawab yang mungkin telah bersusah payah mencari jawabannya. Hal demikian dapat membuat relasi antara Si penanya dan Si penjawab menjadi tidak kondusif.


3. Memacetkan proses belajar mengajar.

Kultur mencari validasi melalui pertanyaan dapat menghambat prosesi belajar mengajar secara universal. Khalayak mungkin akan tertuju pada pertanyaan caperisasi saja, ketimbang pada materi yang telah disampaikan. Sehingga, publik lain yang hendak bertanya dengan tulus akan menjadi ragu dan enggan.


Dalam mengkritisi sesuatu, tak lengkap jika tidak menyuguhkan solusinya. Berikut solusi terhadap kritik diatas:


1. Menumbuhkan motivasi belajar yang benar.

Seseorang perlu mengetahui motivasi belajar yang benar itu seperti apa. Metode yang dapat dilakukan ialah dengan menata niat dan berpikir secara makro dan objektif. 


2. Memberikan apresiasi yang balance.

Seseorang yang secara hierarki lebih tinggi, perlu memberikan apresiasi yang setara kepada seluruh penanya, baik itu yang bertanya dengan ketidaktahuan dan seseorang yang telah mempresentasikan hasil pemikirannya. Hal demikian bertujuan guna menghindari fokus berlebih pada pertanyaan caper dan mendorong partisipasi masif dan aktif dari seluruh khalayak.


3. Melahirkan kultur diskusi yang inklusif.

Melahirkan atmosfer diskusi yang terhindari dari represi dan dikerdilisasi merupakan hal yang krusial.Hal demikian dapat mendorong khalayak untuk bertanya dengantulus dan memperhatikan keilmuan yang disampaikan.


Solusi tersebut tak akan terealisasi 100 persen tanpa adanya jiwa revolusioner dari seseorang. Sementara itu, jiwa revolusioner tidak akan lahir tanpa berpikir jernih dan objektif.


Kita perlu mengetahui atau menganalisa terlebih dahulu mengenai bagaimana jenis pertanyaan caperisasi. Sebab, kita belum dapat memberikan label kepada seseorang secara sat-set bahwa pertanyaannya itu terindikasi caperisasi. Perlulah kita menganalisa hal tersebut secara jernih dan objektif. Semua itu ada strateginya, namun penulis dalam hal ini merahasiakannya.


Berikan komentar Anda dibawah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Sempro

Seminar Proposal Skripsi Ku

Selamat Ulang Tahun Sayang