Sehebat Apa Tan Malaka?


Mengapa sosok Tan Malaka selalu membuat khalayak saling berdebat, untuk mendukung atau merevisi interpretasi ihwal ideologi-ideologinya?


Pada hari ini, Rabu, 21 Februari 2024 diperingati sebagai hari gugurnya Tan Malaka (21 Februari 1949). Nama beliau sangat bergema dimana-mana, baik itu dilingkungan akademisi maupun dimasyarakat. Bak seperti quote beliau yang mungkin kiranya seperti ini “Suaraku lebih bergema ketika aku ditelan bumi”.


Jadi, ketika selesai membaca tulisan dari Alfian Bahfri yang berjudul “Malaka Project, Beasiswa Bukan Jalan Keluar Persoalan Pendidikan”. Ditambah pula tulisan dari Ardiansyah yang berjudul “Alfian, Malaka Project, dan Pendidikan untuk semua”, mungkin kita mendapati beberapa kegelisahan yang sederhana. Sehebat apa sih sosok Tan Malaka sampai-sampai terus menjadi polemik dan bahkan sampai-sampai nama beliau menjadi rujukan bagi influencer terkenal, seperti Ferry Irawan, Jerome Polin, Cania Cita, Coki Pardede dan kawan-kawan lainnya untuk menghabiskan uang atau cuan mereka untuk proyek sosial berbasis pendidikan?


Mengapa sosok Tan Malaka selalu diselimuti kabut sampai orang-orang saling berdebat, berdialektika, dan saling berpolemik guna mendukung atau mengoreksi interpretasi ihwal ideologi-ideologinya? Lantas, apa yang membuat Tan Malaka begitu istimewa apabila dianalogikan dengan tokoh-tokoh lainnya di Indonesia, seperti Bung Sjahrir, Bung Hatta dan Bung Karno?


Ternyata gagasan dan kiprah Tan Malaka memang kontroversial sejak dalam fikrah. Di satu perspektif, tokoh yang mempunyai banyak nama samaran ini dipuja-puja bak seorang legenda dan mitos. Akan tetapi, diperspektif lainnya, beliau juga begitu dibenci dan bahkan diberi cap sebagai penghianat. Lumrah sih apabila Alfian menggugat Ferry Irawan dan kawan-kawan, sebab mencatumkan nama Malaka dan MADILOG sebagai latarbelakang proyek pendidikan. Namun, meninggalkan optimisme dialektika revolusionernya.


Terlepas dari hal tersebut, yang perlu dicatat ialah sejauh mana memperdebatkan isu catut nama dan beasiswa ini? Memang salah satu metode membenahi peradaban ialah dengan mengkritik dan berdialektika. Akan tetapi, apakah kita mampu bersikap dewasa guna mencari satu generalisasi umum dan membuat sintesis yang disetujui bersama setelah perdebatan alot ini?


Sadar ataupun tidak, salah satu generalisasi umum yang dapat disetujui bersama ialah kita sama-sama kagum dengan sosok Tan Malaka, bangsawan dari tanah minang ini. Kita dalam kadar yang berbeda-beda juga sama-sama terdoktrin oleh ideologi dan kiprahnya Tan Malaka, sehingga ingin berjuang bak seperti dirinya. Tan Malaka ini ibarat magnet yang menarik banyak khalayak dari segala lapisan masyarakat guna mempelajari, menekuni, mencerna dan mengembangkan semua hal yang pernah beliau lakukan dan pikirkan. 


Dengan adanya polemik ini, setidaknya kita mulai ingin membaca ulang karya-karya dari Tan Malaka, seperti MADILOG, Aksi Massa, dan lain-lain. Kita seakan-akan dipacu oleh Alfian dan Ardiansyah guna berepot-repot ria untuk menyusuri kembali jejak-jejak Tan Malaka yang tersebar di banyak media. Malaka Project ini menebar program minimum perjuangan guna membentuk tatanan masyarakat terbarukan, dengan jalan memperkenalkan warisan-warisan dari Tan Malaka untuk generasi Muda.


Berikan opini random anda pada kolom komentar dibawah, ya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selamat Sempro

Seminar Proposal Skripsi Ku

Selamat Ulang Tahun Sayang