Politik Kurang Adab
Kita telah melihat dan mendengar dengan seksama terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang menuai sensasi dan kontroversi. Kini tahun politik kita memanglah asyik, tapi tidak dengan keasyikan ihwal permainan konstitusi dan politik yang minim adab. Kita juga telah melihat prosesi pemilihan nomor urut capres-cawapres yang begitu penuh teriakan dari masing-masing Tim pendukungnya. Keasyikan dan keriuhan ini akan begitu meriah jikalau dibarengi dengan sebuah Pesta Gagasan, bukan Pesta atas bobroknya hukum dan problem moralitas politik yang begitu miris.
Dua fenomena diatas telah menjadi start dimulainya kontestasi Pilpres yang sebenarnya. Kini mereka akan bekerja dengan penuh keringat untuk memanjakan rakyat agar mendapat simpati dan dukungan melalui panggung kampanye yang begitu panas dan kerap senggol sana-sini. Kita telah melihat putusan Mahkamah Konstitusi yang tuai kontroversi yang melahirkan kekecewaan masyarakat. Tak sampai disitu, pelaporan dugaan pelanggaran etik sebagai hakim konstitusi dan akhirnya berakhir dengan pemecatan Uncle Usman (Anwar Usman) dari posisi jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi oleh MKMK.
Setelah putusan MK yang menimbulkan kekecewaan, ternyata putusan MKMK menambah sederet kekecewaan dan api kegaduhan masyarakat. Dari sederet pelaporan tersebut, ada dugaan bahwa ada yang sedang menghadang sebuah anak kecil (Gibran) untuk turut berkontestasi di Pilpres 2024. Meskipun KPU telah menetapkan secara resmi pasangan dari Gemoy (Prabowo), diksi "cacat etik" dalam prosesi pencalonannya masih menjadi top nomor satu yang diperbincangkan masyarakat. Mengapa demikian? Karena Paman Usman telah melanggar berat etik sebagai hakim konstitusi.
Ditengah pertandingan elektoral putusan MK, masyarakat juga dipertontonkan perihal pencopotan baliho-baliho dari GAFUD (Ganjar Mahfud) dibeberapa daerah. Potensi-potensi kecurangan ini telah bertebaran dan dapat menjadi ketidakpatuhan pada aturan yang telah berlaku. Kita juga disuguhkan ditengah sorak-sorai para masing-masing pendukung capres-cawapres dalam pengundian nomor urut paslon. Ditengah hal itu, terjadi senggol menyenggol antara masing-masing capres-cawapres, baik itu pantun, drakor dan sederet papan tulisan pendukung yang sindir-menyindir.
Setelah kita melihat suguhan-suguhan diatas, kini Pemilu tidaklah seasyik dulu. Karena hukum dan keadilan yang kian ciut berhadapan dengan tahun politik ini. Beberapa kampanye terlihat saling mengkapitalisasi perihal negatif musuhnya sebagai bombardir guna saling lempar dan menampilkan tema-tema yang non-programatik untuk turut mesesaki kampanye. Pencawapresan anak kecil sebagai cacat hukum pun turut membersamai kampanye-kampanye yang ada. Pada akhirnya, semua kubu akan terjebak pada politik yang berbahaya. Karena setiap kewajiban atau larangan akan dipakai untuk semata-mata demi keuntungan elektoral masing-masing kubu. Pemilu yang seperti inilah yang menjadi tempat Pesta Demokrasi yang penuh minim keadaban. Pemilu minim keadaban merupakan pemilu yang tidak lagi mengaplikasikan peraturan perundang-undangan, menihilkan regulasi dan berbagai norma yang ada. Tak hanya itu, harmonisasi dan kedamaian pun akan dipojokkan. Pemilu demikian bukanlah demokrasi yang kita hendaki bersama. Pemilu yang seperti ini akan menghancurkan integritas bangsa dan negara. Inilah beban yang akan kita pikul bersama guna menghadapi Pemilu 2024.
Tanpa keadaban publik, kehidupan bersama akan jauh menyakitkan. Kecemasan dan konflik sosial akan menjadi suatu hal yang lumrah dalam masyarakat. Demikian pula halnya Pemilu, kita nantinya akan memilih pemimpin dengan metode memberinya sebuah mandat memerintah. Jika tidak dibersamai dengan unsur keadaban, Pemilu hanya menjadi instrumen yang penuh keringat, panas dan saling baku hantam.
Berikan opini anda pada kolom komentar dibawah.
Komentar
Posting Komentar