Bakteri Senioritas Dalam Organisasi Kampus
Pernahkah anda mendengar statment berikut dalam organisasi; Pasal 1 "Senior selalu benar", Pasal 2 "Apabila Senior salah, kembali pada pasal 1". Statment tersebut kerap diidentikkan dengan sebuah senioritas. Senioritas pada dunia organisasi kampus ialah suatu fenomena yang telah lama ada dan kerap menjadi suatu hal yang tak dapat dipisahkan dari culture kehidupan kampus.
Meskipun asumsi senioritas ini dipandang sebagai warisan yang menumbuhkan rasa solidaritas dan loyalitas, namun fakta di lapangan tak melulu sama seperti yang diharapkan. Sebelum kita terjun lebih dalam, mari kita ketahui terlebih dahulu ihwal senioritas itu apa. Senioritas merupakan suatu konsep yang mengacu pada hak atau status yang dipunyai oleh seseorang yang beradasar atas pengalaman, umur, atau seberapa lama dia eksis dalam suatu lingkungan atau organisasi tertentu. Hal ini diindikasikan dengan adanya sebuah perbedaan kelas, antara mahasiswa kelas atas (senior/kating) dan mahasiswa kelas bawah (junior/dekting).
Jika kita berperspektif positif, konsep ini bisa membentuk interaksi sosial yang sehat. Tapi, bisa juga berpotensi diorientasikan pada implementasi yang merugikan dan melanggar HAM. Kebiasaannya, konsep ini dilihat sebagai metode mengapresiasi pengalaman dan kontribusi seseorang. Namun, ada beberapa alasan kritis yang menentang relevansinya dan keberkesinambungannya dalam dinamika sebuah ormawa (organisasi mahasiswa).
Salah satu kritik yang paling top dan krusial terhadap konsep ini ialah bahwa hal tersebut dapat menghasilkan superioritas yang tak sehat diantara anggotanya. Seorang anggota yang lebih senior, dapat merasa lebih unggul dan berkuasa (paiyanya/asa iya ay sudah) yang dapat merugikan dinamika sebuah team dan pencapaian tujuan dari nama kabinetnya, maupun visi misinya.
Konsep ini juga dapat berimplikasi menjadi sebuah fasilitas diskriminasi terhadap para anggota baru/maba/dekting atau secara kasarnya adalah minoritas. SDM yang tak relevan dengan norma senioritas yang ada dalam organisasi, dapat berpersepsi merasa dikesampingkan atau tak diapresiasi. Senioritas juga kerap diasumsikan bahwa segala keputusan dalam organisasi, dibuat oleh seseorang yang sudah lama berkecimpung didalamnya. Hal ini bisa berorientasi pada pengambilan keputusan yang tidak sehat, tidak adil, tidak sesuai dengan pasal 1 ayat 2 dan bisa saja tidak merepresentasikan kepentingan semuanya. Konsep senioritas yang cenderung dilebih-lebihkan, bisa berimplikasi pada praktek yang merugikan, misalnya pengkaderan yang melibatkan kekerasan fisik dan penyerangan mental kepada para anggota baru/dekting/maba. Hal ini bukan hanya melukainya, tapi telah melanggar HAM.
Alasan klasik yang dapat dilontarkan oleh para senior mengenai hal tersebut adalah, karna bertujuan untuk menguatkan mental. Saya sendiri kurang sepakat mengenai alasan yang sungguh klasik ini. Karena pengkaderan yang efektif, seharusnya tidak membutuhkan kekerasan semacam itu sebagai bentuk tahapannya. Penyerangan fisik ataupun mental ini dapat berdampak cedera yang begitu serius, entah itu secara fisik ataupun psikologis. Hal ini dapat berdampak panjang terhadap problem kesehatannya lohh. Karena dapat menimbulkan gejala stress post-traumatik, depresi, axiety, dan bahkan tidak mood untuk makan.
Semua orang berhak diperlakukan dengan hormat dan tak boleh disakiti atau disiksa dalam konteks apapun. Karena kekuasaan yang sejatinya itu ialah ketika Senioritas ini dapat diaplikasikan guna mendukung dan mengangkat, bukan untuk menindas dan merendahkan serendah-rendahnya.
Organisasi yang masih saja mengaplikasikan konsep ini, cenderung dapat menciptakan bibit-bibit dan culture yang tidak sehat, karena bisa saja suatu intimidasi dan penindasan ini bisa dijadikannya sebagai norma. Di masa sekarang ini, metode itu sudah tidak relevan dalam dunia pendidikan. Sekarang seharusnya kita menonjolkan kolaborasi, pendekatan yang mendorong kemandirian dan kemerdekaan terhadap mahasiswa. Jadi, mari kita sudahi dan waktunya kita meninggalkan culture yang konservatif. Jikalau hal tersebut masih saja sulit untuk dicabut, maka akan terus menimbulkan keinginan baldam (balas dendam) kegenerasi selanjutnya yang dimix dengan tingginya sifat egoisme terhadap kepentingan pribadi.
Kekuasaan tersebut, jika digunakan secara berlebihan dan tidak tepat, maka dapat menimbulkan suatu tindakan senior yang menjadikan anggota baru tersebut sebagai budaknya, dengan memanipulasi statusnya. Terkadang, ada saja pengalaman-pengalaman senior yang dikarang layaknya sebuah kisah yang begitu dramatis dan cenderung berlebih-lebihan. Padahal, realitanya tidak sekeren dan sekece yang diceritakan. Biasanya, awalan diksinya "jaman gua dulu". wkwkwk lucu, ya.
Disclaimer dan penting untuk dicatat, bahwa tidak semua organisasi yang mengaplikasikan dan mengadopsi konsep ini dengan metode yang merugikan seseorang, ya. Setiap organisasi mempunyai culture dan tradisi yang berbeda. Mungkin ada yang memakai metode yang lebih inklusif dan adil dalam mendekati anggota barunya. Mahasiswa senior seharusnya memastikan untuk menumbuhkan keintelektualan semua mahasiswa atau anggota barunya, tanpa harus membatasi akses atau menjustifikasi para pemula.
Para lembaga pendidikan dan otoritas kampus juga harus turut serta dalam bertanggungjawab guna menjaga integritas dan moralitas organisasi dikampusnya. Sehingga kita semua bisa mengharapkannya transformasi positif dalam culture senioritas dimasa yang akan datang.
Hidup Mahasiswa !
Berikan tanggapan ataupun opini random anda, pada kolom komentar dibawah, ya.
Komentar
Posting Komentar