Fatherless Generation
Generasi tanpa kasih sayang Ayah atau Fatherless Generation, kira-kira Siapa yang merasa bagian dari hal tersebut? Mari kita ngumpul pada pembahasan kali ini. Dibeberapa keluarga didaerah perkotaan, fungsi ayah sering banget terdistorsi dengan statusnya sebagai pencari cuan bagi keluargnya ya kan?. Di kota besar, anggep aja kayak yang terjadi dikota Banjarmasin, seseorang bisa saja berangkat kerja mulai dari jam enam pagi dan baru pulang sampe dirumah jam delapan malam.
Misalnya, rumah seorang ayah tersebut ada didaerah Banjarbaru dan dia harus kerja didaerah kota Banjarmasin. Mungkin kondisi berangkat jam enam pagi tersebut memang betul dan jadi suatu keharusan.
Nah, apa sih akibatnya jika seorang ayah memang betul-betul harus berada dalam kondisi seperti itu? Mungkin banget dia jadi tidak terlalu lengket sama familynya. Dan mungkin kita berpikir jika hari weekend itu menjadi waktunya seorang ayah untuk menghabiskan waktu bersama familynya. Tapi, dengan tekanan pekerjaannya everyday, hari weekend biasanya malah dijadikan waktu yang pas guna si ayah untuk berbaring ria dipulau kapuk tercinta yang ia rindu-rindukan dan tentunya dia tidak mau diganggu.
Lantas, apakah hal tersebut menjadi hal yang negatif dalam hubungan ayah dan family? emmm bisa jadi memang hal tersebut menjadi hal yang negatif. Tapi, bisa saja ini sedikit bisa dimaklumi jikalau ayah tersebut memiliki anak yang sudah dewasa.
Mengapa demikian? Karena anak yang sudah dewasa biasanya sesekali saja bertemu atau bercakap-cakap dengan ayahnya guna berdiskusi hal-hal yang urgent, tapi tidak serta-merta begitu saja jikalau seorang ayah tersebut punyak anak yang berusia sekitar enam tahunan atau kurang.
Karena usia dibawah lima tahun itu merupakan usia yang baik guna seorang balita mengeksplor instingnya. Aktivitas ini bisa direalisasikan bersama ibunya, yang pada mana diusia dibawah lima tahun ini, anak belajar untuk makan, BAK/BAB, dan aktivitas yang memang sabi mengasah insting lainnya.
Freud menyebut masa-masa tersebut sebagai masa kritis dan important. Intelektual pun juga timbul diusia anak dibawah lima tahun. Ketika anak terkelola dengan betul, ada kemungkinan ketika dewasa nantinya, anak akan menjadi cerdas karena telah melalui masa kritisnya dengan baik dan betul. Tapi, setelah lima tahun, anak belajar untuk masuk kedunia sosial, yang pada mana dia akan mengtry (mencoba) untuk mengeksplor dunianya lebih jauh dari sebelumnya. Misalnya memiliki seorang teman, sahabat, sampai belajar atau guru karena waktunya dia sekolah gitu.
Paling baik diperkenalkan dan diawasi oleh ayahnya. Ayah dalam dunia psikologi merupakan orang yang paling baik guna membantu anak mengeksplor worldnya, setelah masa insting dengan ibunya telah usai.
Maka dari itu, orang yang tidak memiliki hubungan emosional dengan ayahnya karena ayahnya sibuk atau bahkan sudah mohon maaf meninggal, cerai, dan lain-lain, biasanya cenderung memiliki skill sosial yang lebih lemah, dibandingkan ketika dia punya masa indah bersama ayahnya dalam mengeksplor world sosialnya.
Nah, apakah wajar jika beberapa laki-laki yang menjadi follower tokoh-tokoh yang misoginis dan patriarkis, karena merasa tokoh tersebut sabi mengisi kekosongan sosok figur ayah dihidup mereka?
Bagaimana menurut kalian mengenai pembahasan ini? Berikan jawaban maupun opini random anda pada kolom komentar dibawah yaa.
Komentar
Posting Komentar