Melihat Sistem Pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Pemerintahan Indonesia Kontemporer

Ketika Rasulullah SAW wafat, problem yang pertama kali muncul adalah politik. Rasulullah SAW telah mengajarkan suatu prinsip, yaitu musyawarah yang sesuai dengan ajaran islam itu sendiri. Pertemuan di Tsaqifah Bani Sa’idah menjadi musyawarah pertama yang diselesaikan para sahabat setelah Rasulullah wafat atau sebelum Abu Bakar memegang tampuk pemerintahan. Pertemuan tersebut diprakarsai oleh kaum Anshar.
Pada musyawarah tersebut terjadi adu argumen yang cukup panas [hot] antara kaum Anshar, kaum Muhajirin dan dari Ahlul Bait. Pada saat itu, Abu Bakar menggunakan kesempatannya untuk mencalonkan Umar dan Abu Ubaidah, tapi keduanya menolak, karena [because] keduanya berasumsi bahwa yang lebih pantas menjabat khalifah adalah Abu Bakar. Umar dan Abu Ubaidah secara resmi menyatakan bai’atnya kepada Abu Bakar, kemudia peserta sidang mengikutinya [memfollownya].
Akhirnya, Abu Bakar disetujui oleh jamaah kaum Muslimin untuk menduduki jabatan khalifah. Abu Bakar menjadi kepala negara atau khalifah pertama umat Islam. Dengan terpilihnya Abu Bakar merupakan sebuah produk budaya Islam yang mengajarkan bagaimana [how] metode mengendalikan negara [country] dan pemerintah secara bijaksana dan demokratis terbuka, serta dengan terpilihnya beliau juga merupakan dasar terbentuknya sistem pemerintahan dalam Islam.
Sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat sentral, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu problem, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Masih banyak lagi kebijaksanaan politik yang dilakukan Abu Bakar ketika beliau mengemban jabatannya. Jika kita melihat pemerintahan Indonesia sendiri, dalam memutuskan sebuah perkara atau problem juga berdasarkan musyawarah. Ya meskipun ada saja golongan-golongan yang tidak sepakat lalu berakhir dengan melakukan demonstrasi atau saling lempar kursi hehehe. Sistem pemerintahan di Indonesia juga lebih terdesentralisasi dengan kekuasaan yang dipisahkan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Selanjutnya [next] kita akan membahas kebijakan dibidang pemerintahan yang dilakukan Abu Bakar, kemudian kita akan melihat bagaimana dengan kondisi di Indonesia saat ini, apakah sama atau ada perbedaannya ya?
1. Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Ketika terjadi suatu perkara, beliau selalu [always] mencari hukumnya pada kitab Allah dan mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu perkara. Ketika beliau tidak bisa menemukan jawaban dari suatu perkara, maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh-tokoh untuk berdiskusi. Lalu, keputusan dari diskusi tersebut akan dijadikan sebuah peraturan. Jika kita melihat di Indonesia kontemporer, hal diatas tadi jika di Indonesia berlandaskan pada Pancasila sebagai ideologi negara yang mencerminkan nilai-nilai agama dan kepercayaan. Di Indonesia, keputusan itu diambil berdasarkan konstitusi, hukum yang berlaku, dan sesuai dengan prinsip demokrasi.
Amanat Baitul Mal pada masa Abu Bakar esensinya adalah sebuah lembaga keuangan publik yang bertanggungjawab guna mengumpulkan, menyimpan, dan membagikan dananya kepada publik yang dikelola oleh pemerintah dalam rangka memenuhi keperluan aam (umum). Jika di Indonesia saat ini, tidak ada entitas yang secara khusus disebut "Amanat Baitul Mal." Namun, ada sih beberapa lembaga dan sistem yang memiliki fungsional serupa dalam pengelolaan keuangan negara [country], seperti Kementerian Keuangan, dan lain-lain. Dari segi goalsnya [tujuannya] kurang lebih sama, tapi di Indonesia memiliki peran dan fungsi yang terpisah. Sedangkan pada masa Abu Bakar, lebih terpusat kepada khalifah dalam pengelolaannya.
Politik dalam pemerintahan Abu Bakar telah dijelaskan oleh beliau sendiri pada rakyatnya dalam sebuah pidatonya. Esensi dari pidato tersebut adalah, “jika beliau berbuat salah maka luruskanlah, lalu taatlah kepada beliau selagi beliau taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika beliau tidak taat, maka jangan diikuti [difollow].” Nah, kalonya di Indonesia, sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Abu Bakar yakni, pentingnya [importantnya] taat kepada hukum dan norma-norma yang berlaku. Abu Bakar menekankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan di Indonesia saat ini, pemerintahan kita berlandaskan pada Pancasila sebagai ideologi negara yang mencerminkan nilai-nilai yang harus ditaati.
Abu Bakar tak pernah menempatkan diri diatas UU (Undang-undang). Beliau juga tidak nepotisme dalam memimpin. Jadi esensinya dihadapan UU itu sama seperti rakyat yang lain, entah itu kaum Muslim maupun non Muslim. Di Indonesia sendiri, UU merupakan pijakan utama dalam pengambilan keputusan, dan pemimpin atau pemerintah bertanggungjawab untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Ya meskipun terkadang ada beberapa orang yang memperalatkan UU ini guna sebuah kekuasaan, dan lain sebagainya. Sebagaimana kata Bang Jack (Bapa Zaki Yamani) ketika beliau mengajar kami (Mahasiswa Hukum Tata Negara STAI Darul Ulum Kandangan Reguler III) pada matkul (mata kuliah) Pengantar Ilmu Hukum dan Teori Hukum, beliau mengatakan bahwasanya “Hukum itu dibuat oleh penguasa, dan hukum yang mengawasi atau mengontrol penguasa atau membatasi kekuasaan.” Nah, kalonya pada masa Abu Bakar, kekuasaan terpusat pada pemimpin tunggal, dan sumber hukum utama ialah kitab Allah dan contoh Rasulullah, jadi Abu Bakar memastikan bahwa beliau tidak meletakkan dirinya di atas hukum. Di Indonesia sendiri, kekuasaan UU dipertegas dengan adanya konstitusi dan lembaga-lembaga penegak hukum yang independen, misalnya MK (Mahkamah Konstitusi) dan lain-lain.
Pada pemerintahan Abu Bakar, sepengetahuan penulis, mereka menggunakan konsensus atau kesepakatan dari sahabat Rasulullah untuk mengangkat atau memilih the next leader for kaum muslimin. Di Indonesia sendiri, pengangkatan atau pemilihan pemimpin atau presiden itu berdasarkan pemilihan umum yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Di Indonesia, apabila pemimpin telah menjabat selama satu periode (5 tahun), maka dia boleh menyalonkan atau maju kembali untuk menjadi presiden atau pemimpin untuk kedua kalinya (2 periode). Jika telah dua periode dia memimpin, maka dia tidak boleh lagi mencalonkan diri. Cukup dua periode ygy [ya gaes ya] hehehe.
Jadi esensi atau kesimpulan dari pembahasan keseluruhan diatas tadi adalah, kita dapat mempelajari, dan mengimplemenkan suri tauladan dari sosok Khalifah Abu Bakar yang tegas, adil dan bijaksana pada saat kita menjadi pemimpin atau untuk para pemimpin Indonesia saat ini khususnya. Dari sosok beliau bisa dijadikan teladan dalam menjalankan roda pemerintahan di Indonesia yang adil dan tegas. Kita juga bisa belajar dari sosok beliau dalam memangku jabatan pada pemerintahan, yakni kesederhanaan, kerendahan hati, dan kelemah lembutan beliau meskipun mendapat harta yang melimpah dan jabatan yang tinggi.
So, yang pasti adalah, kita sebagai pemimpin jangan sampai nepotisme, dan hanya mementingkan kehendak pribadi, tapi kita harus memprioritaskan kepentingan rakyat, dan juga harus memprioritaskan masyarakat dalam mengambil sebuah keputusan.
Tulisan ini penulis buat untuk memenuhi Final Test matkul (mata kuliah) Sejarah Peradaban Islam, dengan dosen pengajar Bapak Muhammad Jaidi, S. Pd.I., MH. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis berharap semoga ada kajian komfrehensif dan mempertimbangkan konteks sejarah, sosial, pemerintahan dan politik dalam mengevaluasi tulisanini dan untuk memahami kedua sistem ini secara menyeluruh.
Untuk menutup tulisan ini, penulis akan memberikan satu motivasi yang semoga dapat pembaca pahami dan renungkan. “Menjadi seorang pemimpin yang sukses dan hebat itu tak mesti 5+5=10, tapi bisa juga dengan 6+4, 7+3, 9+1, 15-5, dan masih banyak lagi.”
Sumber: Dari makalah kelompok 1: Ahmad Fauzi Muhana dan Erika Puteri Dewi dengan judul Peradaban Islam Masa Khulafa Al-Rasyidin yang telah dipresentasikan pada pertemuan kedua hari sabtu, 19 Februari 2023 dikampus satu STAI Darul Ulum Kandangan. Lalu, sumber yang selanjutnya dari Buku Sejarah Peradaban Islam yang ditulis oleh Dr. Siti Zubaidah, M.Ag Cetakan pertama: Oktober 2016.
Dan jangan lupa untuk selalu mensupport penulis pada blog ini dengan cara; selalu melihat tulisan penulis yang lainnya.
semangat kaa
BalasHapussemoga lancarr dan suksess kaa
BalasHapus