Ruang Bertanya
Pasca kurang lebih tiga tahun saya berkuliah, saya terkadang dihadapkan dengan sistem yang secara absurd menilai baiknya seseorang lewat siapa yang cepat menjawab, bukan melulu memberi ruang bagi siapa yang berani bertanya. Ini bukan semata kebetulan. Dari saya kecil, saya acap kali diajarkan untuk menjawab. Maksudnya, menjawab dengan benar, maka memperoleh nilai tinggi. Sedangkan menjawab dengan cepat, maka dianggap anak pintar. Lalu, saya pun lupa, kapan saya diminta atau diberi ruang untuk bertanya?
Terkadang, memang ada ruang tersebut. Namun, sempitnya minta ampun. Karena, lebih didominasi pemaparan materi, daripada ruang untuk berdiskusi, berdialektika, apalagi menggali kedalaman substansi. Saya rasa, ini bukan pendidikan, ini indoktrinasi berkedok akademis.
Saya mengonfigurasi kapabilitas diri untuk berani bertanya, tidaklah mudah. Ia bukan semata disodorkan lembar soal dan mencari jawaban segera. Karena, kapabilitas untuk bertanya, tidak datang tiba-tiba. Ia mesti diasah terus-menerus, mulai dari bara rasa keingintahuan, hingga nyala keinginan memahami. Ini merupakan perjuangan, sebuah rangkaian yang menuntut kita untuk berhadapan secara eksplisit dengan ego dan ketakutan.
Bertanya memang erat relevansinya dengan keberanian, tapi keberanian yang dimaksud adalah keberanian untuk mengakui bahwa kita belum tahu. Namun, ironisnya dewasa ini, budaya justru menggiring kita pada pemikiran yang menyesatkan, bahwa bertanya sama dengan bodoh.
“Aduh, gitu aja nanya.”
“Aduh, gitu aja nggak tahu.”
“Jangan bertanya, biar kita cepet istirahatnya.”
Celetukan-celetukan picisan ini merupakan racun yang membunuh nalar kritis kita hari ini. Ini merupakan bentuk pengekangan intelektual yang harus kita lawan.
Saya mengonfigurasi kapabilitas berani bertanya, dimulai dari menanyakan diri sendiri maupun fenomena yang tengah ramai dewasa ini. Sederhananya, ketika materi usai dipaparkan, tanyakan pada diri sendiri, “Sepertinya aku belum paham di bagian ini, deh. Coba deh aku tanyakan.”
Maka dari itu, mulai sekarang, mari kita gempur budaya yang membelenggu nalar ini. Mari kita lahirkan ruang-ruang di mana bertanya adalah mahkota, bukan aib. Karena, keberanian untuk bertanya adalah langkah awal menuju pemahaman yang hakiki.
“Mengakui ketidaktahuan merupakan puncak kecerdasan”
Komentar
Posting Komentar