Menyusuri Jalan Penyelesaian Sengketa Perikatan
Kita tahu, bahwa hidup tidak senantiasa berjalan mulus. Terkadang, perikatan pun demikian. Perikatan yang awalnya lahir dari itikad baik, bisa saja berubah menjadi sumber sengketa. Salah satu pihak ingkar janji, atau kondisi lainnya yang tak terduga. Sehingga, membuat perjanjian tak terealisasi. Di sinilah, jalan penyelesaian sengketa itu hadir.
Sengketa dalam perikatan bisa lahir dalam beraneka macam bentuk. Salah satunya adalah wanprestasi, yakni dikala pihak yang berkewajiban, gagal merealisasikan tugasnya sebagaimana mestinya. Umpamanya, Akbar sebagai penjual, tidak mengirim barang sesuai waktu yang dijanjikan, atau Yanor sebagai penyewa tidak tepat waktu membayar sewa pada Fauzi. Selain itu, bisa pula dikarenakan perbuatan melawan hukum (PMH). Umpamanya, pihak ketiga yang ikut intervensi dan melahirkan kerugian.
Sebelum menapakkan kaki ke meja hijau, ada baiknya para pihak mencari solusi damai. Solusi damai itu adalah alternatif penyelesaian sengketa (non-litigasi). Dalam jalur ini, pihak-pihak yang bersengketa bisa memilih metode penyelesaiannya, yakni sebagai berikut:
1. Negosiasi
Duduk bersama dan berdiskusi secara eksplisit guna menemukan titik temu yang disepakati secara kolektif.
2. Mediasi
Ini melibatkan mediator sebagai pihak ketiga yang netral guna membantu mencarikan solusi, tapi keputusannya tetap berada di genggaman para pihak yang bersengketa.
3. Konsiliasi
Hampir serupa dengan mediasi, tapi konsiliator dapat memberikan usulan penyelesaian.
4. Arbitrase
Para pihak yang bersengketa menyerahkan sengketa kepada arbiter yang bakal memberi putusan yang bersifat inkrah.
Jalur ini terkenal lebih cepat, fleksibel, biayanya pas dikantong, dan menjaga silaturahmi baik antar pihak. Tak heran bila dewasa ini, banyak perjanjian mencantumkan klausul “penyelesaian melalui arbitrase”.
Akan tetapi, bila perdamaian tidak tercapai, maka Pengadilan (litigasi) jadi pilihan. Penyelesaian sengketa secara litigasi ini direalisasikan di hadapan hakim. Dalam sidang, bukti dipaparkan, saksi didengar, dan hukum ditegakkan. Adapun putusan Pengadilan ini, bersifat inkrah dan bisa dieksekusi.
Walaupun rangkaiannya kebiasaannya panjang dan melelahkan, tapi litigasi ini memberikan kepastian hukum. Dalam segelintir kasus, ini jadi satu-satunya cara guna menutut keadilan secara formal.
Bila kita berbicara melalui kacamata hukum Islam, penyelesaian sengketa bukan semata urusan hukum formal belaka, melainkan pula urusan moral dan keagamaan. Islam memandang konflik sebagai opportunity guna membenahi silaturahmi dan menegakkan keadilan. Dalam Islam, ada tiga prinsip utama dalam menyelesaikan sengketa perikatan, yakni sebagai berikut:
1. Syura (Musyawarah)
Islam sangat menekankan betapa krusialnya berdiskusi guna menggali solusi yang fair dan tidak merugikan siapa pun. Syura bukan semata formalitas belaka, melainkan ungkapan penghormatan terhadap hak dan martabat setiap pihak.
2. Sulh (Perdamaian)
Dalam Islam, mengalah demi kedamaian, bukanlah kelemahan. Namun, kemuliaan. Dikala Fauzi dan Akbar sepakat menyudahi konfliknya secara damai, maka itu dianggap lebih utama daripada meneruskan perselisihannya yang berkesinambungan.
3. 'Adl (Keadilan)
Hukum Islam sangat mengedepankan keadilan substantif. Bukan semata siapa yang menang ataupun kalah, melainkan pula bagaimana keputusan yang diambil dapat membawa maslahat bagi seluruh pihak.
Dalam Islam, juga mengenal tahkim. Ini semacam arbitrase syariah. Di mana, sengeketa diselesaikan oleh pihak ketiga (arbiter) yang dipercaya dan paham prinsip-prinsip syariah. Bahkan, bila diperlukan, Pengadilan Agama (PA) dapat menjadi wadah guna menyelesaikan sengketa perikatan yang berbasis akad syariah.
Pasca mencermati pemaparan sebelumnya, ada hal menarik dari dua kacamata ini (hukum positif dan hukum Islam), yakni di Indonesia, keduanya tidak berjalan sendiri-sendiri. Akan tetapi, ia saling melengkapi. Bila hukum positif menyuguhkan jalur formal dan legalistik, maka hukum Islam memberi sentuhan etika dan keagamaan.
Penyelesaian sengketa perikatan bukan semata berbicara siapa yang benar, melainkan bagaimana seluruh pihak dapat kembali berdiri tanpa ada kedendaman, tanpa luka, dan dengan rasa keadilan yang tetap utuh, entah itu lewat negosiasi hangat, mediasi yang damai, ataupun sidang yang tegas—semua itu bertujuan serupa, yakni tercapainya harmoni.
Di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, tapi religius, penyelesaian sengketa perikatan memerlukan pendekatan nan bijak. Kita perlu hukum yang tegas dan dibersamai nilai yang menyentuh. Di situlah, hukum positif dan hukum Islam kita bertemu. Di titik keadilan dan kedamaian. Karena, pada akhirnya, janji merupakan amanah. Saat amanah itu tergelincir, maka hukum hadir bukan semata guna menghukum, melainkan untuk menyembuhkan.
Komentar
Posting Komentar